Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi, Saeful Islam, menyatakan dukungan terhadap tujuan penertiban.
Tambun Selatan, – Mediarjn.com – Pemerintah Kabupaten Bekasi mulai melakukan penertiban dan pembongkaran bangunan liar (bangli), khususnya di kawasan bantaran sungai, dalam rangka normalisasi dan penataan ruang wilayah. Namun, kebijakan tersebut menuai kritik karena dianggap tidak adil. Rabu, (30/4/2025).
Kebijakan ini dilaksanakan oleh Pemkab Bekasi di bawah pimpinan Bupati Ade Kuswara Kunang, dan mendapatkan respons kritis dari DPRD, khususnya dari Anggota Komisi III, Saeful Islam.
Wilayah penertiban berada di beberapa titik di Kabupaten Bekasi, terutama di Tambun Selatan dan daerah bantaran sungai lainnya.

Penertiban dimulai pada April 2025 dan terus berlangsung dalam beberapa tahap.
Hal Ini Menjadi Polemik
Saeful Islam menilai penertiban belum menyentuh bangunan milik pengusaha besar, seperti pelaku usaha limbah, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Ia menekankan bahwa kebijakan ini terkesan hanya menyasar rakyat kecil.
Tanggapan dan Solusi yang Diusulkan
Dalam keterangannya kepada media, Saeful Islam menyampaikan bahwa DPRD mendukung penataan wilayah, namun mendesak agar pelaksanaan dilakukan secara adil dan berimbang. Ia juga mengusulkan adanya kejelasan pasca-penertiban, termasuk rencana pemanfaatan lahan eks-bangli dan perlindungan sosial bagi warga terdampak.
Pemerintah Kabupaten Bekasi, di bawah kepemimpinan Bupati Ade Kuswara Kunang, resmi melakukan pembongkaran bangunan liar di sejumlah wilayah strategis, khususnya di bantaran sungai. Langkah ini disebut sebagai bagian dari program penataan ruang wilayah dan pengendalian banjir. Namun, implementasi di lapangan menuai reaksi beragam dari publik, termasuk kalangan legislatif.

Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi, Saeful Islam, menyatakan dukungan terhadap tujuan penertiban, namun menyoroti ketimpangan dalam pelaksanaannya. Menurutnya, tindakan tegas pemerintah daerah terkesan berat sebelah karena hanya menyasar warga kecil, sementara bangunan liar milik pengusaha besar belum tersentuh.
“Kami mendukung penertiban karena bangli memang mengganggu fungsi sungai. Tapi keadilan harus dijaga. Jangan sampai kebijakan ini memukul rakyat kecil, tapi memanjakan pemilik modal,” ujarnya, Rabu (30/4).
Saeful juga menanggapi julukan “Raja Bangli” yang kini disematkan kepada Bupati Ade. Menurutnya, gelar tersebut dapat menjadi simbol kepemimpinan yang tegas, asal dibarengi dengan kesetaraan perlakuan dan perencanaan yang matang.
Ia menyoroti ketiadaan koordinasi antara Pemkab dan DPRD terkait alokasi anggaran serta tujuan pasca-penertiban. “Bangli sudah dibongkar, tapi belum ada kejelasan akan dijadikan apa lahan bekasnya. DPRD juga belum diajak bicara soal rencana ini,” tambahnya.
Lebih jauh, Saeful memperingatkan agar penertiban ini tidak memicu kemiskinan ekstrem di kalangan warga terdampak. Ia menuntut adanya jaring pengaman sosial, serta penyediaan lokasi sementara bagi pedagang atau warga yang kehilangan tempat tinggal dan usaha.
“Penertiban harus mengedepankan prinsip Hak Asasi Manusia. Pemilik bangunan perlu dipanggil, diajak berdiskusi, dan dicarikan solusi. Setelah dibongkar, mereka harus tahu ke mana bisa melanjutkan hidup,” tegasnya.
Saeful menegaskan bahwa DPRD siap mendukung penataan wilayah selama kebijakan ini menjadi bagian dari program pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dalam RPJMD.
Langkah penertiban bangunan liar di Kabupaten Bekasi perlu dilaksanakan secara inklusif, transparan, dan adil. Keadilan sosial, perlindungan hak warga, dan perencanaan pasca-penertiban menjadi kunci agar program ini tak hanya menjadi gebrakan sesaat, tetapi solusi berkelanjutan bagi pembangunan daerah.