Hasto Kristiyanto: Kriminalisasi Hukum dalam Kepentingan Politik – Sebuah Analisis Akademis

Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers membahas dugaan kriminalisasi hukum yang menimpanya, berlatar belakang simbol PDIP
Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers membahas dugaan kriminalisasi hukum yang menimpanya, berlatar belakang simbol PDIP

 

Jakarta, – Mediarjn.com  Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengungkapkan adanya dugaan kriminalisasi hukum yang menimpanya dalam proses praperadilan yang tengah berlangsung. Ia menuding penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rossa Purbo Bekti, melakukan intimidasi terhadap saksi dalam persidangan, yakni Agustiani Tio. Menurut Hasto, tindakan ini mencerminkan upaya hukum yang sarat dengan kepentingan politik dan bertujuan untuk menjerat dirinya melalui mekanisme hukum yang dianggap tidak adil.

Dalam konferensi pers yang digelar di kantor DPP PDI Perjuangan, Jl Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (18/2/2025), Hasto menguraikan berbagai tekanan yang dialami oleh saksi, Agustiani Tio. Salah satu dugaan serius yang diungkap adalah adanya tawaran gratifikasi hukum senilai Rp 2 miliar agar saksi memberikan kesaksian yang memberatkannya. Pernyataan ini memicu perdebatan luas mengenai independensi lembaga penegak hukum dan potensi penyalahgunaan wewenang dalam sistem peradilan di Indonesia.

Dinamika Hukum dalam Konteks Politik

Dalam sistem hukum yang berlandaskan prinsip keadilan, setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari intervensi politik. Namun, realitas menunjukkan bahwa hukum sering kali dijadikan alat kekuasaan untuk melemahkan pihak-pihak tertentu. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah hukum masih menjadi instrumen keadilan atau telah bertransformasi menjadi alat politik?

Kasus yang menimpa Hasto Kristiyanto telah menarik perhatian publik dan akademisi hukum. Berdasarkan kajian dari sejumlah pakar, seperti Prof. Dr. Amir Ilyas, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, dan Prof. Dr. Ridwan, tidak ditemukan bukti kuat yang mengindikasikan keterlibatan Hasto dalam kasus yang disangkakan. Hal ini memicu diskursus lebih luas tentang penerapan asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan.

Indikasi Pelanggaran Proses Hukum

Dalam perjalanan kasus ini, muncul berbagai indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak penyidik. Salah satunya adalah dugaan intimidasi terhadap saksi kunci, Agustiani Tio. Kesaksian yang diberikan di bawah sumpah mengungkapkan bahwa terdapat tekanan psikologis dan tawaran gratifikasi hukum agar memberikan keterangan yang mendiskreditkan Hasto.

Lebih lanjut, dalam persidangan praperadilan, terungkap bahwa tidak terdapat bukti formil dan materiil yang cukup untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka. Selain itu, pembatasan terhadap hak berobat bagi Agustiani Tio menjadi sorotan karena dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan

Banyak pihak menilai bahwa kasus ini tidak terlepas dari dinamika politik yang lebih luas. Beberapa kebijakan strategis yang diambil oleh Hasto dan PDI Perjuangan, seperti penolakan tim Israel dalam Piala Dunia U-20 serta sikap tegas terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam putusan MK No. 90 Tahun 2023, dipandang sebagai pemicu tekanan politik terhadapnya.

Dalam perspektif akademis, hukum idealnya harus bersifat independen dan bebas dari intervensi politik. Namun, ketika hukum diperalat untuk membungkam kelompok tertentu, maka keadilan menjadi ilusi. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Sunarto, hukum tanpa keadilan hanyalah kumpulan aturan yang kehilangan ruh keadilannya.

Menyikapi Tantangan Penegakan Hukum

Dalam negara demokrasi yang sehat, supremasi hukum harus dijaga agar tidak terdistorsi oleh kepentingan politik sesaat. KPK sebagai institusi penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil didasarkan pada bukti yang sah dan bukan tekanan eksternal.

Kasus Hasto Kristiyanto menjadi refleksi atas tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, peran masyarakat sipil, akademisi, serta institusi hukum sangat penting dalam mengawal proses ini agar keadilan tetap menjadi pilar utama dalam sistem peradilan nasional. Dengan tegaknya hukum yang berkeadilan, maka cita-cita demokrasi dan supremasi hukum dapat terwujud secara nyata di negeri ini.


(Boy)