Aktivis GMNI dalam pengaduan kepada Disnaker Kota Bekasi terkait penahanan ijazah oleh PT Multindo Finance, di depan kantor pemerintah.
Mengapa Praktik Ini Masih Terjadi Meski Dilarang Kemenaker? Ini Penjelasan dan Tuntutan Para Aktivis
Bekasi, – Mediarjn.com – Di tengah upaya penegakan hak-hak pekerja, praktik penahanan ijazah oleh perusahaan masih saja terjadi di berbagai daerah. Salah satunya di Kota Bekasi, di mana seorang pekerja asal Lampung bernama JN mengaku ijazahnya ditahan oleh PT. Multindo Finance, meski ia sudah tidak lagi bekerja di sana.
Masalah ini kembali menegaskan adanya jarak antara regulasi dan pelaksanaan di lapangan, sekaligus mempertanyakan efektivitas pengawasan oleh pemerintah daerah.
Yang Terjadi dan Siapa yang Terlibat?
Ketua Komisariat GMNI Universitas Bina Sarana Informatika, Dian Arba atau akrab disapa Bung Jangkis, mengungkapkan bahwa kasus penahanan ijazah JN telah dilaporkan sejak 11 Juni 2025 ke Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Bekasi. Namun hingga awal Juli, laporan tersebut belum ditindaklanjuti secara tegas.
Menurut Dian, JN bekerja sebagai account officer di PT. Multindo Finance sejak November 2024. Sejak awal, pihak perusahaan mensyaratkan penahanan ijazah sebagai bentuk “jaminan kerja”. Karena tidak memiliki pilihan lain dan tengah mengadu nasib di Kota Bekasi, JN menyetujui syarat tersebut.
Namun, pada 25 April 2025, JN memutuskan mengundurkan diri karena alasan keluarga—merawat mertuanya yang sakit parah di kampung halaman. Ketika hendak mengambil kembali ijazahnya, pihak perusahaan disebut meminta pembayaran sebesar Rp3.220.500 dengan dalih pengembalian kelebihan gaji.
Regulasi Sudah Ada, Tapi Kenapa Tidak Dipatuhi?
Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan RI telah mengeluarkan Surat Edaran No. M/5/HK.04.00/V/2025 yang secara tegas melarang praktik penahanan ijazah dan/atau dokumen pribadi milik pekerja oleh perusahaan.
Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak pekerja, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena melanggar prinsip keadilan dan kebebasan individu.
Respons Pemerintah Kota dan Kelemahan Pengawasan
Pada Kamis, 3 Juli 2025, aktivis GMNI bersama JN mendatangi langsung kantor Disnaker Kota Bekasi. Ironisnya, bagian Hubungan Industrial yang ditemui justru mengaku belum mengetahui laporan yang telah masuk secara resmi.
“Kami sudah melayangkan surat resmi sejak 11 Juni, tapi hingga hari ini belum ada tanggapan. Praktik semacam ini tidak boleh dianggap remeh karena berdampak pada masa depan generasi kerja,” tegas Bung Jangkis.
Ia juga meminta Wali Kota Bekasi dan Plh Kadisnaker memberikan atensi khusus dan segera mengambil langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang.
Solusi dan Langkah Ke Depan?
GMNI menekankan bahwa penahanan ijazah bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi juga menyangkut hak asasi pekerja. Pemerintah daerah harus memastikan perusahaan tidak menggunakan ketimpangan relasi kerja sebagai alat menekan pekerja.
“Jika praktik seperti ini tidak diberantas, maka citra Kota Bekasi sebagai wilayah industri akan tercoreng. Kami tidak ingin Bekasi dikenal sebagai kota yang membiarkan pelanggaran hukum terhadap buruh,” tambahnya.
Antara Regulasi dan Realita
Kasus JN adalah satu dari sekian contoh ketimpangan implementasi hukum ketenagakerjaan. Dibutuhkan kehadiran negara yang nyata di tengah masyarakat pekerja. Pemkot Bekasi didorong untuk aktif membangun sistem pelaporan cepat, menindak pelanggaran, serta melakukan edukasi kepada pemberi kerja tentang hak dan kewajiban ketenagakerjaan.
(Red)