Ketua Bidang Pendidikan PMII Kota Bekasi, Deni Afrizal, menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan militerisasi pelajar oleh pemerintah.
Kota Bekasi, – Mediarjn.com – Menanggapi wacana kebijakan pemerintah yang mengarahkan siswa ke barak militer sebagai solusi atas maraknya aksi tawuran pelajar, Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Kota Bekasi menyampaikan kritik dan keprihatinannya. Melalui Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Profesi, Deni Afrizal, organisasi mahasiswa ini menilai bahwa kebijakan tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan justru berpotensi merampas ruang tumbuh generasi muda. Senin, (5/5/2025).
“Kami menyayangkan kebijakan yang menurut kami cenderung nyeleneh dan reaktif,” ungkap Deni. Ia menilai bahwa tindakan pelajar yang terlibat dalam tawuran tidak semata-mata merupakan bentuk kenakalan, melainkan dampak dari sistem sosial dan pendidikan yang belum optimal dalam menyalurkan potensi mereka.
Kebijakan ini dipersoalkan
Menurut Deni, banyak siswa sejatinya memiliki bakat besar dalam bidang sains, olahraga, dan seni, namun tidak mendapatkan akses untuk mengembangkan potensi tersebut karena kendala ekonomi dan keterbatasan sistem pendidikan.
“Sistem pendidikan yang mahal membuat pelajar dari keluarga tidak mampu sulit ikut les, pelatihan, atau kegiatan pengembangan diri. Akibatnya, mereka terpinggirkan dan memilih jalan yang salah. Lalu di mana kehadiran negara?” ujarnya kritis.
faktor utama penyebab maraknya tawuran
Selain sistem, faktor lingkungan juga menjadi penentu. Deni menilai bahwa lingkungan yang minim kegiatan positif dan tidak memberdayakan masyarakat, akan melahirkan perilaku destruktif di kalangan remaja. “Solusinya adalah menciptakan lingkungan yang sehat, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pemerintah harus aktif menghidupkan kegiatan masyarakat agar remaja tidak terjerumus ke hal negatif,” jelasnya.
Seharusnya kebijakan dirancang
Deni menekankan bahwa pendekatan militeristik tidak relevan bagi siswa yang masih dalam fase pertumbuhan intelektual dan psikologis. “Jika mengacu pada negara-negara seperti Korea Selatan atau Singapura, wajib militer dilakukan setelah usia 18 tahun dan setelah menyelesaikan pendidikan dasar. Sedangkan di Indonesia, kebijakan barak bagi pelajar justru akan menghambat pengembangan diri mereka,” katanya.
Yang diharapkan PMII
Menutup pernyataannya, Deni menyerukan agar pemerintah membuat kebijakan yang inklusif, berkeadilan, dan berbasis potensi. “Menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah harus mendidik generasi muda dengan pendekatan yang manusiawi dan progresif. Bukan dengan menakut-nakuti mereka lewat militerisasi, tapi melalui pendidikan yang berkualitas, adil, dan membangun karakter ulul albab,” tegasnya.
(Redaksi)