Media Rubrik Jurnal Nusantara - Inspiratif - Inovatif - Kompetitif"
H. Nurchaidir. ST, MM. Plt kepala Disperkimtan Kab Bekasi
         width=

      "Selamat Hari Raya Idul Adha 1446H 2025 Masehi" H. Nurchaidir. ST, MM. Plt kepala Disperkimtan Kab Bekasi

      "Bangkit Berama Wujudkan Indonesia Kuat" - HKN 2025

      "Bangkit Berama Wujudkan Indonesia Kuat" - HKN 2025

Alex A. Putra, seorang advokat

Jakarta, – Mediarjn.com Setelah dua kali somasi tidak direspons, PT ACR Bersatu Sejahtera resmi dilaporkan oleh Alex A. Putra, kuasa hukum Sekar Ayunda Gemintang, ke Dinas Tenaga Kerja dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Laporan ini mencuatkan persoalan krusial: apakah hukum ketenagakerjaan Indonesia siap menjawab tantangan kerja digital masa kini? Rabu, (11/6/2025)

Sekar Ayunda, pekerja sebagai Social Media Specialist di PT ACR Bersatu Sejahtera, diduga mengalami berbagai pelanggaran hak ketenagakerjaan. Ia mengaku dipaksa bekerja di luar batas jam kerja manusiawi, menerima upah di bawah standar minimum, dan di-PHK secara sepihak tanpa kejelasan hak hukum.

Perkara ini melibatkan Sekar Ayunda sebagai korban, PT ACR Bersatu Sejahtera sebagai pihak terlapor, serta Alex A. Putra, seorang advokat yang kini mengambil posisi strategis dalam mengadvokasi hak pekerja digital.

Somasi dilayangkan dalam dua gelombang sebelum laporan resmi didaftarkan pada 11 Juni 2025 di kantor Dinas Tenaga Kerja. Kasus ini menjadi atensi nasional, khususnya di Jakarta sebagai pusat pertumbuhan sektor digital.

Alex menilai bahwa PT ACR telah mengeksploitasi celah hukum dengan memanfaatkan absennya regulasi khusus (lex specialis) terkait sistem kerja remote. “Eksploitasi sistematis kerap disamarkan dalam istilah modern,” tegasnya, seraya menyoroti bahwa ketentuan umum dalam UU No. 13 Tahun 2003, serta PP No. 35 dan 36 Tahun 2021 tetap wajib ditegakkan.

Proses saat ini berada di ranah PHI, dan menjadi preseden penting. Jika dikelola dengan baik, kasus ini dapat menjadi momentum revisi regulasi ketenagakerjaan, khususnya dalam menyusun kerangka kerja tertulis yang memuat hak, kewajiban, jam kerja, sistem komunikasi, hingga jaminan sosial bagi pekerja daring.

Menurut Alex, ketidakpedulian PT ACR terhadap somasi dan solusi damai mencerminkan arogansi korporasi digital yang tak bisa dibiarkan. “Negara tidak boleh lamban. Jika tidak ada regulasi baru, kita akan menyaksikan generasi muda jadi korban praktik abu-abu dunia kerja modern,” ungkapnya.

Di ujung narasi ini, kasus Sekar Ayunda menjadi contoh nyata disharmoni antara percepatan transformasi digital dan stagnasi perlindungan hukum tenaga kerja.

Dunia kerja telah berubah, namun apakah hukum turut berubah? Ataukah justru pekerja ditinggalkan dalam ketidakpastian?

Dengan meningkatnya tren kerja fleksibel dan remote di Indonesia, urgensi regulasi baru tidak lagi bisa ditunda. Kasus ini seharusnya memantik diskursus lintas sektor—akademisi, pembuat kebijakan, dan pelaku industri—untuk mendesain ulang sistem hukum yang adaptif dan humanis.

Transformasi digital tidak hanya menuntut inovasi teknologi, tetapi juga rekonstruksi etika dan hukum dalam dunia kerja. Respons negara terhadap kasus Sekar Ayunda akan menjadi indikator sejauh mana hukum Indonesia mampu merespons tantangan zaman tanpa meninggalkan pekerja sebagai korban di era modernitas.


Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *