Jakarta, – Mediarjn.com – 7 Agustus 2025.- Koalisi Task Force Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menandatangani Rancangan Peraturan Presiden Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB). Surat terbuka yang akan diserahkan langsung ke Sekretariat Negara pada Kamis, 7 Agustus 2025, menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi memperkuat diskriminasi dan mengabaikan korban intoleransi, termasuk anak-anak.
Sepanjang tahun 2024, SETARA Institute mencatat adanya 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. 159 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor negara, sedangkan 243 tindakan dilakukan oleh aktor non negara. Secara umum, kondisi KBB 2024, terlihat pada tingginya tindakan intoleransi (73) oleh masyarakat, dan tindakan diskriminatif (50) oleh negara.
Tahun 2025 juga kembali diwarnai konflik antar umat beragama:
-
Pada peringatan Rabu Abu 2025, Gedung Serba Guna (GSG) di Jalan Ski Air Nomor 19, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung, sekelompok orang berdemonstrasi dengan menggunakan kekerasan menolak penggunaan bangunan untuk beribadah. Kasus ini belum terselesaikan hingga kini, dan hak beribadah masih sulit didapatkan.
- Pada 27 Juni 2025 juga terdapat konflik dan penyerangan terhadap rumah singgah atau villa di Cidahu, Jawa Barat. Selain bangunan yang rusak, penyerangan ini juga menyisakan trauma yang melekat pada anak-anak dan remaja para peserta retret yang berasal dari gereja di Tangerang Selatan.
- Penyerangan Rumah Doa Kecamatan Koto Tangah Padang, Kota Padang, Sumatera Barat. Pada peristiwa ini anak-anak kembali menjadi korban kekerasan dan pengrusakan. Dan berdasarkan investigasi, hingga kini tidak ada mekanisme pemulihan yang serius bagi anak-anak baik di Cidahu maupun di Padang, Sumatera Barat. Berlarut-larutnya penyelesaian konflik ini menunjukan pembiaran negara terhadap konflik dan kekerasan atas nama agama.
Dua kasus terkini di Cidahu (Jawa Barat) dan Padang (Sumatera Barat) menyasar rumah doa, yang melibatkan anak-anak sebagai korban kekerasan dari Tindakan pengrusakan. Anak-anak kehilangan ruang aman untuk beribadah dan pendidikan agama, mengalami trauma psikis, serta terancam hak dasarnya atas perlindungan dan identitas keagamaan.
Koalisi KBB menilai Ranperpres PKUB gagal menjawab akar intoleransi dan justru berpotensi memperburuk situasi karena:
- Materi draft Ranperpres PKUB masih rentan diskriminatif dan dinilai tidak inklusif, di antaranya masih memuat syarat 90 pengguna dan 60 dukungan masyarakat sekitar ketika hendak membangun rumah ibadah. Seharusnya hal ini dikaji lebih dalam, mengingat ini merupakan persoalan utama terkait dengan hak atas tempat beribadah. Begitu juga dengan hak bagi masyarakat yang menganut penghayat kepercayaan, perlu dijamin dalam Perpres tersebut yang seharusnya dapat berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
- Ranperpres PKUB disusun secara serampangan dan tanpa partisipasi masyarakat sipil. Pada draft Perpres PKUB yang terakhir, terutama, tidak melibatkan masyarakat sipil, termasuk penganut atau organisasi agama atau kepercayaan yang selama ini terdampak. Hal ini dapat dilihat dari: Tidak dibukanya ruang diskusi dan konsultasi draft terakhir Perpres PKUB bagi komunitas/masyarakat yang terkena dampak.
- Materi draft Ranperpres PKUB masih memuat pasal-pasal yang memicu konflik antar umat Bergama, dimana memberikan kewenangan Masyarakat untuk memberikan/tidak memberikan izin, membuat dikotomi mayoritas dan minoritas, dan mengutamakan kepentingan mayoritas. Pengaturan ini tidak relevan diterapkan di negara Indonesia dengan Masyarakat yang memiliki keragaman agama/keyakinan.
Oleh Karena itu Koalisi Task Force Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mendesak Presiden Republik Indonesia untuk:
- Menunda penandatanganan Ranperpres PKUB hingga dilakukan perbaikan substansial.
- Memastikan partisipasi publik dalam revisi kebijakan, termasuk melibatkan korban intoleransi dan organisasi kepercayaan.
- Mengutamakan jaminan konstitusional (UUD 1945 Pasal 28E dan 29) atas hak beribadah dan bebas dari diskriminasi.
- Menyertakan perlindungan khusus bagi anak terdampak konflik agama, termasuk pemulihan psikososial dan jaminan keamanan beribadah.
PILAR KOALISI TASK FORCE KBB ini terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil:
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sobat KBB, SETARA Institute, YLBHI, AJI Indonesia, Imparsial, SALT Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK), The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI), El Bukhari Institute (EBI), Anak Bumi Dwipantara, Perhimpunan Jiwa Sehat, CIS Timor, Human Rights Working Group (HRWG), Imparsial, Perhimpunan Tuna Netra Kristiani Indonesia (PETKI).
Boy Hutasoit