Penandatanganan MoU Pidana Kerja Sosial antara Jampidum Kejaksaan Agung dan Gubernur DK Jakarta di Balai Kota Jakarta.
Jakarta, – Mediarjn.com – Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi DK Jakarta dalam penerapan Pidana Kerja Sosial (PKS) sebagai bagian dari pembaruan sistem hukum pidana nasional. Kolaborasi tersebut ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) yang berlangsung di Kantor Gubernur DK Jakarta, Senin (15/12/2025).
Penandatanganan MoU sebagai Langkah Strategis

Penandatanganan MoU disaksikan langsung oleh Jampidum Asep N. Mulyana dan Gubernur DK Jakarta Pramono Anung, bersama Kepala Kejaksaan Tinggi DK Jakarta Patris Yusrian Jaya, para Kepala Kejaksaan Negeri, serta para wali kota se-DK Jakarta. Kerja sama ini bertujuan mengimplementasikan Pidana Kerja Sosial secara optimal dan terukur dalam praktik penegakan hukum.
Mendorong Paradigma Hukum yang Modern dan Humanis
Jampidum menegaskan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah strategis dalam membangun sistem penegakan hukum yang modern, efisien, dan terpadu. Penerapan PKS diharapkan mampu memperkuat pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif dalam penanganan tindak pidana ringan, sebagaimana diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023.
PKS sebagai Bagian dari Implementasi KUHP 2023
Pidana Kerja Sosial merupakan salah satu bentuk sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Skema ini mengusung paradigma pemidanaan yang berorientasi pada pemulihan hubungan sosial, perbaikan perilaku pelaku, serta rehabilitasi dampak yang ditimbulkan akibat tindak pidana.
Prinsip Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial
Menurut Jampidum, pelaksanaan PKS mengedepankan sejumlah prinsip utama, antara lain tidak dikomersialkan, tidak menghilangkan mata pencaharian pokok pelaku, disesuaikan dengan profil pelaku, serta memberikan manfaat nyata dan kontribusi positif bagi masyarakat. Prinsip simbiosis mutualisme menjadi landasan agar sanksi ini berdampak konstruktif bagi semua pihak.
“Pidana Kerja Sosial menjadi opsi sanksi yang berorientasi pada rehabilitasi dan kontribusi positif bagi masyarakat, alih-alih pemenjaraan,” ujar Jampidum Asep N. Mulyana.
Kriteria Penerapan Pidana Kerja Sosial
Dalam praktiknya, Penuntut Umum dapat menuntut Pidana Kerja Sosial untuk perkara dengan ancaman pidana di bawah lima tahun, pidana penjara maksimal enam bulan, atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Selain itu, jaksa mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti pelaku merupakan first offender, kerugian korban relatif kecil, adanya ganti rugi, serta pertimbangan kemanusiaan bagi pelaku dan keluarganya.
Namun demikian, PKS tidak dapat diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimum khusus, tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, serta kejahatan yang membahayakan masyarakat secara luas.
Kolaborasi Hexahelix untuk Keberhasilan Implementasi
Keberhasilan penerapan Pidana Kerja Sosial membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang dikenal sebagai model Hexahelix, melibatkan penegak hukum, pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. MoU antara Kejaksaan RI dan Pemerintah Provinsi DK Jakarta menjadi contoh konkret sinergi tersebut dalam mendukung kepentingan publik.
Mewujudkan Restorative Justice
Jampidum menutup dengan menegaskan bahwa Pidana Kerja Sosial merupakan inovasi penting dalam sistem pemidanaan nasional, yang memberikan kesempatan kedua bagi pelaku tindak pidana ringan untuk memperbaiki diri dan berkontribusi langsung kepada masyarakat.
“Ini adalah langkah maju Kejaksaan RI dalam mewujudkan restorative justice serta membangun budaya hukum yang humanis, cerdas, dan berintegritas,” pungkasnya.
(Redaksi

