Diskusi Pra-Konfercab GMNI Jaksel: Reformasi Polisi Dinilai Menyimpang dari Cita-cita Supremasi Sipil
Jakarta, – Mediarjn.com – Diskusi pra-Konferensi Cabang (Konfercab) Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta Selatan menyoroti kegagalan reformasi kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Forum yang digelar di sekretariat GMNI Jaksel pada Rabu (2/10) itu menghadirkan sejumlah pakar dan aktivis dengan tema “Reformasi Kepolisian: Menegakkan Kembali Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan.” Kamis, (2/10/25).
Dalam diskusi tersebut, para narasumber sepakat bahwa institusi Polri semakin jauh dari cita-cita reformasi. Alih-alih menjadi pengayom rakyat, kepolisian dinilai cenderung berpihak pada modal dan kekuasaan.
Habitus KKN dalam Tubuh Polri
Narasumber pertama, Romo Setyo dari Gerakan Nurani Bangsa, menilai bahwa persoalan kepolisian tidak bisa diselesaikan sebatas teknis administratif. Menurutnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah menjadi habitus dalam tubuh Polri.
“Yang esensial dari reformasi kepolisian harus dilihat dari aspek kultural dan struktural. Habitus KKN sudah mengakar. Perubahan tidak bisa sekadar administratif, melainkan harus melalui tekanan sejarah dan revolusi pemikiran,” ujar Romo.
Empat Gelombang Krisis
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Prof. Muradi, menegaskan bahwa kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit telah berulang kali diuji oleh empat gelombang krisis: kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, skandal narkoba Teddy Minahasa, dan kematian pengemudi ojek online.
“Empat krisis itu seharusnya menjadi pelajaran bahwa masalah kepolisian bukan sekadar soal oknum, tetapi struktural. Kompolnas pun tidak memiliki kekuatan pengawasan yang memadai,” tegas Muradi.
Ia mendorong pembatasan masa jabatan Kapolri maksimal tiga tahun, penguatan kewenangan Kompolnas, serta larangan rangkap jabatan polisi aktif di posisi sipil.
DPR dan Utang Budi Politik
Pengamat politik Ray Rangkuti menyoroti lemahnya desain institusional kepolisian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menyebut mekanisme fit and proper test di DPR kerap menghasilkan pimpinan Polri dengan banyak “utang budi politik”.
“Reformasi kepolisian harus dimulai dengan mencopot Kapolri. Selama empat tahun terakhir citra Polri makin terpuruk, bahkan muncul narasi Parcok terkait dugaan keterlibatan polisi dalam pemilu,” kata Ray.
Ia juga mengecam kriminalisasi terhadap lebih dari 900 aktivis.
“Bagi polisi, aktivis lebih berbahaya daripada koruptor. Ini menunjukkan keberpihakan Polri bukan pada rakyat, melainkan pada penguasa dan kapital,” tambahnya.
“Hanya Ada Tiga Polisi Baik”
Antonius Danar dari Strategi Institute mengutip pernyataan Gus Dur bahwa hanya ada tiga polisi baik: “Polisi Tidur, Jenderal Hoegeng, dan Patung Polisi.”
Menurutnya, faksionalisme di tubuh Polri memperparah kondisi institusi.
“Tim Reformasi Kepolisian dari internal bukan solusi, melainkan kudeta halus untuk memperkuat status quo,” ungkap Danar.
Sikap Tegas GMNI Jakarta Selatan
Ketua DPC GMNI Jakarta Selatan, Dendy, menegaskan bahwa Presiden harus segera mencopot Kapolri Listyo Sigit. Menurutnya, kepolisian kini lebih berpihak pada modal dan kerap mengkriminalisasi aktivis demokrasi serta pejuang agraria.
“Demokrasi harus direbut kembali, termasuk dengan menghukum pelaku pelanggaran hukum di tubuh kepolisian. Nepal bisa menjadi contoh bahwa perubahan hanya lahir dari keberanian menghukum aparat,” ujar Dendy.
Ia menambahkan, keberhasilan Polri saat ini hanya sebatas menangkap aktivis dan melindungi kepentingan kapital. Karena itu, GMNI Jaksel menilai reformasi kepolisian adalah kebutuhan mendesak untuk mengembalikan supremasi sipil di atas dominasi aparat.
(Erdison)