Dr. Appe Hutauruk, SH,. MH. Dosen, Advokat, dan Konsultan Hukum
Paradoks Pembangunan dan Kesejahteraan
Jakarta, – Mediarjn.com – Kesejahteraan sosial sejatinya merupakan amanat konstitusi dan tujuan utama dari kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, dalam praktiknya, pembangunan sosial sering kali terpinggirkan oleh agenda ekonomi yang hanya berorientasi pada angka pertumbuhan dan pencapaian fiskal. Tulisan ini mengupas kegagalan struktural pembangunan sosial di Indonesia dengan pendekatan 5W+1H secara terstruktur. Selasa, (17/6/2025).
Kesejahteraan Sosial Hanya Slogan, Bukan Prioritas Nyata
Meskipun Pasal 33 UUD 1945 menegaskan sistem perekonomian nasional harus berpihak pada kesejahteraan sosial, implementasinya belum mencerminkan hal tersebut. Pembangunan sosial justru cenderung dijadikan jargon politik dan propaganda tanpa strategi integratif yang berkelanjutan. Program jaminan sosial hanya bersifat karitatif dan temporer, jauh dari prinsip keadilan sosial.
Negara Sebagai Pemegang Mandat Sosial Konstitusional
Konstitusi melalui Pasal 27 dan 34 UUD 1945 menegaskan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk kelompok rentan seperti orang miskin, lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Namun, tanggung jawab ini semakin terabaikan, seiring menguatnya paham liberalisme yang mendorong negara “cuci tangan” dari kewajiban sosial dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil.
Ironi Otonomi Daerah dan Lemahnya Komitmen Lokal
Desentralisasi yang seharusnya memperkuat komitmen pembangunan sosial di daerah justru tidak dibarengi dengan perangkat kebijakan yang memadai. Banyak pemerintah daerah lebih fokus pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketimbang menyelesaikan Permasalahan Sosial Asli Daerah (PSAD). Lembaga sosial yang sudah mapan pun malah dibubarkan secara irasional.
Pasca-Reformasi: Saat Kapitalisme Menguat dan Negara Mundur
Fenomena ini mencuat sejak era reformasi, ketika otonomi daerah dan pasar bebas menjadi agenda utama. Negara mulai menarik diri dari urusan sosial, mengalihkan peran kepada masyarakat, serta lebih memilih fokus pada pembangunan ekonomi berorientasi pasar.
Dominasi Kapitalisme dan Lemahnya Integrasi Sosial dalam Ekonomi
Penyebab utamanya adalah tidak terintegrasinya kebijakan sosial dalam pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan masih berorientasi pertumbuhan, bukan pemerataan. Orang miskin masih dipandang sebagai “sampah pembangunan” yang dibantu hanya karena belas kasihan, bukan karena hak konstitusional.
Revitalisasi Kebijakan Sosial: Belajar dari Negara Maju
Pemerintah perlu merevitalisasi visi, misi, dan strategi pembangunan sosial agar tidak sekadar menjadi proyek amal atau bantuan insidental. Belajar dari negara-negara Eropa, negara tetap hadir melalui kebijakan jaminan sosial yang konkret dan sistemik. Kapitalisme bisa dijalankan, tetapi dengan sentuhan kemanusiaan melalui distribusi yang adil.
Seperti keluarga, negara boleh kapitalis dalam mencari uang, tetapi tetap harus protektif dan peduli terhadap anggota yang lemah seperti anak-anak, lansia, dan disabilitas. Pembangunan sosial adalah strategi distribusi kesejahteraan—dan itu harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan publik.
Mengembalikan Fungsi Negara Sebagai Pengayom
Jika pembangunan ekonomi adalah strategi mencari kekayaan, maka pembangunan sosial adalah cara mendistribusikannya secara adil. Sudah saatnya Indonesia menghentikan tipu-tipu kesejahteraan sosial dan kembali ke khitah konstitusi—sebagai negara yang menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Sumber:
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Dosen, Advokat, dan Konsultan Hukum