Foto : Pembangkangan konstitusi kepariwisataan Kabupaten Bekasi: H. Oding Praja, tokoh masyarakat Kabupaten Bekasi Soroti Problematika Regulasi yang Menghambat Pengelolaan Pariwisata Secara Konstitusional
Kabupaten Bekasi, – Mediarjn.com – Penyelenggaraan kepariwisataan di Kabupaten Bekasi berada pada titik kritis akibat penerapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Regulasi yang diundangkan pada 15 Januari 2016 ini dinilai lebih banyak menimbulkan kerugian daripada memberikan manfaat bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut H. Oding Praja, seorang tokoh masyarakat Kabupaten Bekasi, pemerintah daerah dianggap telah mengabaikan aspek legalitas dan manfaat jangka panjang dari peraturan tersebut. Bahkan, ia mengibaratkan kondisi ini seperti “najis pada kotoran hewan”—dimana sesuatu yang haram dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi bukan berarti mengubah status hukumnya.
Perda ini berlaku di seluruh wilayah Kabupaten Bekasi sejak diresmikan pada awal 2016. Namun, proses penyusunan dan implementasinya telah menuai kritik, termasuk dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang memberikan peringatan melalui surat resmi pada Desember 2015 dan Oktober 2016.
Surat-surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, seperti Nomor 188.34/6273/Hukham dan 188.342/4529/Hukham, menegaskan bahwa beberapa ketentuan dalam Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, Pasal 47 tentang larangan pertunjukan live musik bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang sebenarnya memberikan ruang bagi kegiatan tersebut.
Selain itu, Pembangkangan konstitusi, pembangkangan terhadap harmonisasi regulasi ini turut menyebabkan ketidakkonsistenan dalam implementasi. Ironisnya, pemerintah daerah justru sering mengadakan kegiatan yang melanggar Perda tersebut, seperti pertunjukan jaipongan dan wayang golek di area kantor Pemda Bekasi.
Ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan Perda ini berpotensi mengurangi pendapatan daerah, terutama dari sektor pajak hiburan yang tidak dapat ditarik secara optimal. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa potensi pajak hanya dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
Rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk merevisi dan menyempurnakan Perda seharusnya menjadi langkah awal. Harmonisasi aturan dengan undang-undang yang lebih tinggi perlu segera dilakukan agar kebijakan yang dihasilkan mendukung pengelolaan pariwisata secara optimal dan konstitusional. Selain itu, transparansi dan pengawasan lebih ketat terhadap implementasi regulasi juga harus menjadi prioritas.
Dengan demikian, langkah korektif dari Pemkab Bekasi tidak hanya menjadi bentuk tanggung jawab, tetapi juga memastikan tata kelola kepariwisataan yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan perekonomian daerah.
(Red)