Bandung, – Mediarjn.com – Dalam suasana reflektif dan sarat makna, sejumlah aktivis Reformasi 1998, akademisi, dan generasi muda berkumpul dalam forum bertajuk “Saksi Sejarah 98 dari Bandung”.
Acara ini menjadi ruang konsolidasi publik untuk menggugat upaya pelupaan sejarah dan menuntut keadilan atas tragedi kemanusiaan Mei 1998 yang hingga kini belum terselesaikan.
Forum yang digelar Minggu (29/6/2025) ini dibuka dengan pemaparan ulang sejarah kerusuhan Mei 1998, salah satu periode tergelap dalam perjalanan bangsa.
Dalam hitungan hari, Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya berubah menjadi lautan kekacauan.
Gedung-gedung dibakar, toko-toko dijarah, dan lebih memilukan: pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa terjadi secara brutal dan sistematis.
Laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1999 menyebutkan, kerusuhan tersebut bukanlah aksi spontan, melainkan melibatkan aktor terorganisir dengan motif politik.
Tercatat sedikitnya 1.188 orang meninggal dunia, mayoritas karena terbakar hidup-hidup. Selain itu, 52 perempuan mengalami pemerkosaan, sebagian besar dari etnis Tionghoa, dan tidak ada satu pun pelaku yang diadili hingga hari ini.
Suara Para Saksi: Luka yang Belum Sembuh
Dalam forum yang berlangsung di Bandung ini, para peserta memberikan kesaksian langsung.
Seorang penyintas menceritakan betapa mencekamnya suasana di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang menjadi titik panas kerusuhan.
Ia mengenang bagaimana keluarga Tionghoa harus bersembunyi di loteng rumah, berharap selamat dari amukan massa.
Aktivis 98, Anto Ramadhan, menyampaikan kekecewaannya terhadap upaya sistematis penghapusan jejak sejarah oleh penguasa hari ini.
“Rezim kini mencoba membungkam kebenaran dan menulis ulang sejarah sesuai kepentingannya. Kita punya tanggung jawab moral untuk melawan pelupaan kolektif yang sedang diproduksi negara,” ujarnya.
Hal senada ditegaskan oleh akademisi Universitas Padjadjaran, Prof. Muradi, yang menekankan bahwa narasi sejarah tidak boleh semata-mata dikendalikan oleh pihak yang berkuasa. “Sejarah adalah milik rakyat, bukan milik penguasa.
Jika ada kekerasan, ia harus disebut kekerasan. Jika ada pemerkosaan massal, maka itu adalah kejahatan kemanusiaan dan harus diadili.
”Sementara itu, aktivis perempuan Teh Ema mengungkapkan kekhawatirannya akan “pemutihan” sejarah 1998 oleh pihak-pihak tertentu, termasuk dalam struktur pemerintahan saat ini.
Ia mengusulkan perlawanan simbolik melalui aksi-aksi publik, seperti upacara kemerdekaan yang disertai pembacaan kesaksian korban.
Aktivis lainnya, Priston, menyampaikan bahwa semangat Reformasi 1998 belum diwariskan dengan utuh kepada generasi muda.
“Silakan kalian berkuasa, tapi jangan pernah lupakan DNA 98, itu yang membuat negeri ini bisa berubah,” tegasnya.
Seruan Melawan Lupa adalah Tanggung Jawab Bangsa
Forum “Saksi Sejarah 98 dari Bandung” menjadi penegas bahwa melupakan kekerasan masa lalu adalah bentuk kekerasan baru.
Dalam pernyataan sikapnya, peserta forum menuntut:
Menolak pengaburan sejarah Mei 1998 yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan.
Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan diminta mundur dan menyampaikan permintaan maaf terbuka, karena telah melukai hati rakyat dan keluarga korban.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 melalui Pengadilan HAM secara menyeluruh dan adil.
Pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk membuka fakta sejarah dan menciptakan rekonsiliasi nasional yang sejati.
Momentum Mengawal Ingatan
Tragedi Mei 1998 bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah luka kolektif yang masih menganga.
Forum ini mengajak jurnalis, akademisi, seniman, dan anak muda untuk tidak tinggal diam, untuk terus merawat ingatan, menyuarakan kebenaran, dan menolak sejarah yang dimanipulasi.
Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutupi dosanya, melainkan bangsa yang berani mengakui kesalahan, memberikan keadilan kepada korban, dan memastikan tragedi serupa tak pernah terulang.
Boy Hutasoit