Lurah Jati Mulia Acep Abdi Eka Pradana, S.STP, M.Tr.IP, sedang berdialog tegas dengan warga dan pejabat lintas instansi saat meninjau langsung lokasi tumpukan sampah di aliran Kali Jambe, Jati Mulia, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, yang menyumbat sungai dekat Tol Jakarta-Cikampek. (Foto tangkapan layar @Naf_inafoto YT)
Warga Jati Mulia Geram, Soroti Sampah dari Hulu – Pemerintah Diminta Bertindak Nyata
Bekasi – Mediarjn.com – Tumpukan sampah di aliran Kali Jambe, tepatnya di wilayah Desa Jati Mulia, Kecamatan Tambun Selatan, memicu perhatian publik. Kondisinya kian parah hingga membentuk gunungan sampah di pinggir tol Jakarta-Cikampek. Warga resah, lurah bersuara, dan pemerintah daerah saling sorot tanggung jawab. Kini, masyarakat berharap agar pemerintah pusat turun langsung untuk menyelesaikan persoalan klasik yang tak kunjung tuntas ini.
Gunungan Sampah Menyumbat Aliran dan Ciptakan Ancaman Banjir
Gunungan sampah menumpuk di aliran Kali Jambe dan menyebabkan aliran air tersumbat. Kondisi ini mengakibatkan pencemaran lingkungan, aroma busuk lindi, dan banjir saat musim hujan. Dalam inspeksi lapangan yang dilakukan oleh Lurah Jati Mulia, Acep Abdi Eka Pradana, S.STP, M.Tr.IP, Kepala Desa Lambangsari, bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dari Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan perwakilan dari kementerian, ditemukan bahwa sampah diduga bukan berasal dari wilayah Jati Mulia, melainkan terbawa dari hulu yang masuk kawasan Kota Bekasi.
Kolaborasi Lintas Lembaga dan Kesaksian Warga Jadi Bukti
Inspeksi turut dihadiri oleh perwakilan dari BBWS, Jasa Marga, dan pejabat teknis lainnya. Warga RW 08 dan RW 18 Gria Timur juga memberikan kesaksian langsung mengenai dampak buruk dari tumpukan sampah tersebut. Mereka mengaku mengalami banjir hingga 1,5 meter selama lima tahun terakhir, terutama karena sampah yang menyumbat crossing tol.
Sampah Datang dari Hulu, Bukan dari Kami
Menurut penjelasan Lurah Acep Abdi Eka Pradana, S.STP, M.Tr.IP, Jati Mulia, meskipun pengelolaan sampah di wilayahnya sudah dilakukan secara sistematis—dari rumah ke TPS lalu ke TPA Burangkeng—sampah tetap menumpuk di aliran kali. Hal ini diperparah oleh menyempitnya gorong-gorong dan tidaknya efektif kubus apung yang dipasang oleh DLH Kabupaten Bekasi.
“Kita tidak mungkin buang sampah dari hilir ke hulu, rumusnya air mengalir dari hulu ke hilir. Maka logikanya, ini bukan sampah dari kami,” tegas Lurah Jati Mulia.
Lindi Bau dan Air Kali Hitam Pekat Jadi Alarm Lingkungan
Warga juga menyatakan bahwa air kali berwarna hitam dan mengeluarkan bau menyengat karena bercampur lindi. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa pencemaran bukan hanya berasal dari sampah padat, tapi juga limbah cair dari wilayah lain. Situasi ini mengancam kesehatan dan kenyamanan warga secara berkelanjutan.
Langkah Sementara Belum Cukup, Pintu Air Jadi Harapan Baru
Pemerintah Kabupaten Bekasi telah melakukan langkah awal dengan memasang kubus apung setiap tiga hari di wilayah perbatasan. Namun, upaya tersebut dianggap belum optimal karena saat debit air tinggi, sampah tetap lolos. Usulan pembangunan pintu air di wilayah perbatasan Kota dan Kabupaten Bekasi sempat diajukan, namun belum terealisasi karena belum adanya SOP, regulasi teknis, dan penanggung jawab yang jelas.
“Kami butuh solusi konkret. Jangan hanya rapat, tapi tidak ada aksi. Jangan jadikan Kabupaten Bekasi tempat buangan sampah dari kota,” kata salah satu warga RW 18 dengan tegas.
Koordinasi Lintas Wilayah Masih Terkendala Ketidakhadiran Instansi
Forum lintas wilayah dari Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, hingga DKI Jakarta telah menggelar beberapa pertemuan. Namun karena masih ada ketidakhadiran dari sejumlah instansi dalam forum koordinasi, berita acara kesepakatan belum bisa ditetapkan. Pihak BBWS, DLH, dan pemerintah daerah berkomitmen menyusun mekanisme operasional bersama, termasuk kemungkinan pengadaan teknologi seperti trash barrier model Sungai Watch di Bali.
Harapan Warga: Jangan Salahkan Kami, Duduklah Bersama Cari Solusi
“Perlu fasilitasi dari pemerintah pusat agar semua wilayah terdampak duduk bersama dan mencari solusi permanen,” ujar pejabat dari DLH Provinsi Jawa Barat.
Warga menginginkan sinergi, bukan saling tuding. Warga di RW 08 dan RW 18 menyatakan dengan tegas bahwa sampah di kali bukan berasal dari mereka, bahkan setiap rumah telah mengelola sampah sesuai prosedur.
Perlu Kepemimpinan Nasional Tangani Krisis Ekologis
Masalah sampah di Kalijambe bukan lagi sekadar persoalan lokal. Isu ini telah menjadi krisis ekologis lintas wilayah administratif yang memerlukan intervensi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Istana. Dibutuhkan integrasi data, kejelasan tanggung jawab, serta eksekusi yang berlandaskan regulasi teknis agar tidak ada lagi banjir, pencemaran, dan penderitaan warga karena tumpukan sampah.
(Red)