Media Rubrik Jurnal Nusantara - Inspiratif - Inovatif - Kompetitif"
H. Nurchaidir. ST, MM. Plt kepala Disperkimtan Kab Bekasi
         width=

      "Selamat Hari Raya Idul Adha 1446H 2025 Masehi" H. Nurchaidir. ST, MM. Plt kepala Disperkimtan Kab Bekasi

      "Bangkit Berama Wujudkan Indonesia Kuat" - HKN 2025

      "Bangkit Berama Wujudkan Indonesia Kuat" - HKN 2025

Aktivis 98 saling bersuara dalam polemik tragedi Mei 1998 yang menyinggung pemerkosaan massal.

Jakarta, – Mediarjn.com – Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam Peristiwa Mei 1998 sebagai “hanya rumor tanpa bukti” memicu kecaman dari berbagai kalangan, terutama Aktivis 98. Mereka menilai klaim tersebut sebagai bentuk penyesatan sejarah, bahkan menuding adanya agenda terselubung untuk melindungi “bos besar” yang diduga terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Sabtu, (14/6/2025).

Apa yang Disampaikan Fadli Zon

Dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times Real Talk, Fadli Zon menyatakan bahwa tidak ada bukti pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, dalam tragedi Mei 1998. Ia menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak pernah tercatat secara resmi dalam buku sejarah dan menyebutnya sebagai narasi tidak berdasar.

“Ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Tidak pernah ada proof-nya. Itu hanya cerita,” ujarnya.

Pernyataan tersebut langsung mengundang gelombang kritik dari berbagai pihak, terutama mereka yang tergabung dalam jejaring reformis 1998.

Siapa yang Bereaksi Keras

Aktivis Pena 98,Teddy Risandi, menyebut pernyataan Fadli sebagai kebohongan yang menyesatkan publik dan melecehkan penderitaan para korban. Ia menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 adalah fakta yang tercatat dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) serta kesaksian banyak korban dan keluarga.

“Sejarah harus jujur dan berpihak pada korban, bukan justru dikaburkan demi kepentingan politik tertentu,” tegas Teddy melalui sambungan telepon.

Advokat dan pendiri LBH Ampera, Maradang Hasoloan Sinaga, menyampaikan reaksi serupa. Ia menuduh Fadli Zon sedang mengatur ulang narasi sejarah demi kepentingan politik golongan.

“Ini bukan cuma dusta, tapi upaya menutupi dosa sang bos. Membelokkan sejarah adalah bentuk penipuan publik!” ujar Maradang.

Sementara itu, aktivis Barikade 98, Mulyadi alias Kimung, menyoroti upaya pemutihan sejarah untuk melindungi aktor-aktor pelanggar HAM yang dulu sempat diperiksa oleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira) dan Mahkamah Militer.

“Jika tidak ada korban, lalu kenapa ada sidang DKP dan Mahmil? Mengapa ada pemecatan perwira tinggi saat itu?” tanya Kimung.

Apa Dasar Penolakan Aktivis

Fakta-fakta yang dibantah oleh Fadli Zon justru telah didokumentasikan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Laporan mereka mengungkap setidaknya 150 perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan massal, sebagai bagian dari kekerasan sistematis saat kerusuhan Mei 1998.

Lebih lanjut, TPU Pondok Ranggon disebut menjadi tempat dimakamkannya sejumlah korban tragedi 1998. Di lokasi tersebut, keluarga dan aktivis rutin melakukan ziarah dan tabur bunga untuk mengenang korban yang gugur.

Yang Sedang Dilakukan Pemerintah Saat Ini

Kementerian Kebudayaan, yang kini dipimpin oleh Fadli Zon, sedang menyusun ulang penulisan sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 RI.

Namun, dalam draf “Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia” yang dikutip dari BBC News Indonesia, beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan massal 1998, penghilangan paksa, dan Tragedi Trisakti–Semanggi, tidak dimasukkan dalam narasi sejarah yang tengah disusun. Hal ini menambah kecurigaan publik bahwa sejarah sedang dipoles demi kepentingan elite.

Mengapa Ini Menjadi Ancaman Serius bagi Kebenaran Sejarah

Aktivis menyatakan bahwa pengaburan sejarah adalah bentuk kekerasan baru terhadap para korban. Mereka menuntut transparansi dan pelibatan publik dalam penulisan sejarah nasional, agar peristiwa kelam bangsa tidak terhapus oleh narasi tunggal dari penguasa.

“Bung Karno bilang, jas merah—jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah bukan ruang kosmetik politik, tapi catatan luka dan perjuangan bangsa,” tutup Teddy Risandi.

Meluruskan sejarah adalah tanggung jawab moral. Negara yang besar adalah negara yang berani mengakui luka masa lalunya, bukan yang menyapu derita rakyatnya ke bawah karpet kekuasaan.


Boy Hutasoit 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *