Gambar Ilustrasi: Seorang Ibu warga Desa di Kabupaten Bekasi, mengaku harus membayar Rp50 ribu untuk mengurus SKTM dikenakan biaya demi biaya pendidikan anaknya. Padahal, surat tersebut seharusnya gratis.
Bekasi – Mediarjn.com – Selembar kertas berjudul Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) mungkin tampak sederhana. Namun di balik lembaran itu tersimpan harapan besar dari rakyat kecil untuk mendapatkan hak dasar seperti pendidikan.
Salah satu kisah datang dari seorang ibu rumah tangga berinisial N, warga Desa Mekarwangi, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Kamis (15/5/2025), ibu tersebut mendatangi awak media Mediarjn.com untuk mengadukan pengalaman yang ia alami saat mengurus SKTM.
N, yang mengandalkan penghasilan tak tetap dari usaha kecil rumahan, mengurus SKTM untuk anaknya, A.M.I, agar mendapatkan keringanan biaya pendidikan dan bisa mengakses program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, yang membuatnya terpukul adalah harus mengeluarkan biaya sebesar Rp50.000 untuk pengurusan SKTM — yang seharusnya gratis.
SKTM yang diterbitkan dengan Nomor: 4009/Ekmas/V/2025 menyatakan bahwa dirinya adalah warga tidak mampu. Namun, publik bertanya-tanya:
“Mengapa untuk membuktikan bahwa seseorang tidak mampu, justru harus membayar?”
Suara Seorang Ibu
Dengan suara yang bergetar, N menyampaikan keluh kesahnya kepada tim Mediarjn.com:
“Saya datang ke Kantor Desa untuk urus SKTM demi sekolah anak. Tapi saya harus mengeluarkan lima puluh ribu. Saya ini benar-benar susah, makanya ngajuin surat itu. Tapi kalau untuk mengaku miskin saja harus bayar, saya harus bilang apa?” N, warga Desa Mekarwangi
Ungkapan ini menggambarkan kondisi nyata sebagian masyarakat kecil yang sering kali merasa dipinggirkan oleh sistem, bahkan dalam hal yang paling dasar: membuktikan bahwa mereka butuh bantuan.
SKTM Bukan Komoditas
Penting diketahui, sesuai ketentuan pemerintahan desa dan regulasi sosial, pembuatan SKTM tidak boleh dipungut biaya karena merupakan layanan dasar bagi warga kurang mampu. Apabila terdapat pungutan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) dan patut ditindaklanjuti oleh Inspektorat, Dinas PMD, dan Satgas Saber Pungli Kabupaten Bekasi.
Dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dan hak atas pendidikan, negara dan pemerintah daerah semestinya hadir tanpa menyulitkan rakyatnya. Orang tua seperti ibu N tidak seharusnya terbebani secara moral dan finansial saat berjuang demi masa depan anak-anak mereka.
SKTM bukan untuk dikomersialisasi.
Ia adalah lambang keberpihakan negara pada rakyat kecil, bukan ladang retribusi tak bertanggung jawab.
Menunggu Klarifikasi dari Pihak Terkait
Hingga berita ini diterbitkan, tim redaksi Mediarjn.com masih berupaya mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada pihak Pemerintah Desa Mekarwangi dan Kecamatan Cikarang Barat.
Kami telah menghubungi pihak aparatur desa terkait guna mendapatkan klarifikasi dan hak jawab, namun belum memperoleh tanggapan resmi.
Prinsip cover both sides sangat penting agar pemberitaan tidak hanya bersandar pada satu pihak, melainkan memberikan ruang penjelasan bagi pihak yang disebut dalam laporan warga.
Jika dugaan ini benar adanya, maka praktik semacam itu harus dihentikan. Pelayanan terhadap masyarakat miskin tidak boleh dipersulit, apalagi dikomersialisasi.
Hisar Pardomuan ketua RJN Bekasi Raya Aktivis Sosial dan Pengamat Pendidikan Kabupaten Bekasi
Seruan untuk Pemerintah Daerah dan Penegak Hukum
Kasus seperti yang dialami ibu N semestinya menjadi peringatan bagi semua pihak, khususnya aparatur desa, untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan integritas. SKTM bukan hanya dokumen administratif, melainkan jembatan harapan bagi banyak keluarga yang sedang berjuang mengakses pendidikan layak.
Kami mendorong Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Inspektorat Daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), serta Satgas Saber Pungli untuk segera melakukan investigasi mendalam terhadap dugaan pungutan liar ini.
Masyarakat kecil tidak boleh dibebani untuk membuktikan bahwa mereka memang sedang susah. Negara wajib hadir, bukan membebani