Nadiem Makarim mengenakan rompi tahanan pink saat ditetapkan tersangka kasus korupsi Chromebook
Terjerat Kasus
Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada 4 September 2025 resmi menetapkan Nadiem Makarim, pendiri Gojek sekaligus mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook. Sosok yang selama ini dikenal sebagai reformis muda kabinet kini menghadapi ujian besar terkait integritas dan kebijakan yang pernah ia jalankan.
Menjadi Kasus Utama
Kasus bermula dari program digitalisasi pendidikan berupa pengadaan 1,2 juta unit Chromebook pada periode 2019–2022. Anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 9,3 triliun, namun implementasinya menuai kritik. Laporan audit internal dan investigasi menyebut kerugian negara mencapai Rp 1,98 triliun, akibat dugaan manipulasi spesifikasi serta ketidaksesuaian prosedur pengadaan.
Penetapan dan Penahanan Dilakukan
Sejak diumumkan sebagai tersangka, Nadiem langsung ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Jakarta Selatan untuk masa awal 20 hari ke depan. Penetapan ini memperkuat langkah penyidik setelah sebelumnya pada 19 Juni 2025 Nadiem dicekal ke luar negeri dan pada 23 Juni 2025 diperiksa selama 12 jam. Proses hukum juga berlanjut dengan pemanggilan di KPK pada Agustus 2025 terkait kasus berbeda, yakni pengadaan Google Cloud.
Di Mana Program Bermasalah Ini Berlangsung
Pengadaan Chromebook dilaksanakan secara nasional, menyasar sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk kawasan 3T (tertinggal, terluar, terdepan). Namun ironisnya, keterbatasan infrastruktur internet di wilayah 3T membuat laptop tersebut tidak optimal digunakan, sehingga efektivitas program digitalisasi ini dipertanyakan sejak awal.
Nadiem Terjerat Kasus
Menurut Kejaksaan Agung, kerugian negara terjadi karena permainan spesifikasi, pelanggaran tata kelola, serta rekayasa dalam proses tender. Selain Nadiem, empat orang lain lebih dulu ditetapkan tersangka, yakni Jurist Tan (pengusaha), Ibrahim Arief dan Sri Wahyuningsih (pejabat Kemendikbudristek), serta Mulyatsyah (pihak swasta). Penyidik menilai keterlibatan Nadiem sebagai penanggung jawab kebijakan tidak bisa diabaikan.
Respons Nadiem
Dalam pernyataannya kepada publik, Nadiem membantah tuduhan tersebut.
“Saya tidak melakukan apa-apa. Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan terungkap,” tegasnya.
Ia juga menitipkan pesan khusus kepada keluarganya, terutama empat anak balitanya, agar tetap tegar menghadapi badai hukum. Baginya, integritas dan kejujuran adalah prinsip yang tak pernah ia kompromikan.
Analisis Akademis: Dampak terhadap Kebijakan Pendidikan
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana kebijakan digitalisasi pendidikan benar-benar menjawab kebutuhan sekolah di Indonesia? Dalam perspektif akademis, anggaran sebesar Rp 9,3 triliun seharusnya disertai analisis kebutuhan komprehensif, terutama terkait akses internet di daerah 3T.
Kegagalan menyelaraskan kebijakan dengan realitas lapangan membuka celah korupsi berbasis proyek. Akibatnya, tujuan peningkatan mutu pendidikan justru terhambat, sementara publik kehilangan kepercayaan terhadap reformasi pendidikan yang pernah diagungkan.
Ujian Integritas di Persimpangan Sejarah
Kasus Chromebook bukan sekadar perkara hukum personal, melainkan cermin kelemahan tata kelola pendidikan nasional. Apakah ini menegaskan adanya kesalahan struktural dalam sistem, atau sekadar ujian bagi sosok reformis muda yang kini berada di persimpangan sejarah, akan ditentukan melalui proses pengadilan.
Transparansi, efisiensi, dan keberpihakan pada kebutuhan riil sekolah harus menjadi pelajaran utama, agar digitalisasi pendidikan tidak terjebak dalam politik proyek, melainkan benar-benar menghadirkan kualitas pembelajaran yang setara bagi seluruh anak bangsa.
(Red)