Aktivis 98 mengenakan ikat kepala ‘Soeharto Bukan Pahlawan’ saat refleksi Reformasi 1998 di Jakarta.
Jakarta, – Mediarjn.com – Ratusan aktivis Reformasi 1998 dari berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali, hingga Bogor, berkumpul di Grand Sahid Jakarta untuk mengikuti forum refleksi 27 tahun Reformasi dan diskusi publik bertajuk “Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto”. Acara ini digagas oleh Pena 98, Barikade 98, Gerak 98, Repdem, dan Perhimpunan Aktivis 98. Sabtu, (24/5/205)
Kegiatan ini menjadi ajang konsolidasi moral dan intelektual bagi para pelaku sejarah Reformasi, sekaligus bentuk protes terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, presiden ke-2 Indonesia yang dianggap memiliki rekam jejak pelanggaran HAM di era Orde Baru. Simbol penolakan itu tergambar kuat lewat ikat kepala bertuliskan “Soeharto Bukan Pahlawan!” dan replika tengkorak yang menggambarkan korban kekejaman rezim.
Sejumlah tokoh nasional dan aktivis turut hadir sebagai pembicara, antara lain Ray Rangkuti, Ubedilah Badrun, Usman Hamid, Beka Ulung Hapsara, Jimmy Fajar (Jimbong), Mustar Bonaventura, dan Hengki Irawan. Benny Rhamdani dan Wanto Klutuk Sugito juga turut memberikan perspektif politik dan sejarah. Diskusi dipandu oleh Abiyasa Yudhaprawira, sementara acara dibuka secara khidmat oleh Noviana Kurniati dan Teddy Risandi yang juga memimpin pembacaan lagu “Darah Juang” dan “Sumpah Mahasiswa dan Rakyat.”
Pernyataan kritis datang dari Teddy Risandi yang menegaskan, “Menolak lupa! Ada kejahatan Orba bersama Soeharto yang pantang dilupakan. Ada banyak darah tertumpah di Bumi Indonesia, rakyat dimiskinkan, dan sumber daya dikuasai segelintir elite. Kita sepakat menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional.”
Simson Simanjutak, aktivis 98 asal Medan, turut menegaskan bahwa Reformasi adalah manifestasi perlawanan terhadap penindasan struktural. “Reformasi adalah darah dan air mata, bukan seremoni yang bisa dihapus. Kita adalah saksi dan pelaku sejarah,” ujarnya penuh emosi.
Acara digelar pada Sabtu, 24 Mei 2025, bertempat di Ballroom Grand Sahid Jakarta, sebagai ruang simbolik sekaligus historis bagi perenungan perjalanan demokrasi pasca Orde Baru.
Gelaran ini merupakan respons terhadap wacana yang dinilai dapat mengaburkan sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM pada era Soeharto. Aktivis menekankan bahwa melupakan kekerasan masa lalu demi rekonsiliasi semu justru mengkhianati semangat reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan idealisme.
Para aktivis mendesak negara dan lembaga terkait, termasuk Dewan Gelar dan Pemerintah, untuk berpihak pada kebenaran sejarah dan tidak terburu-buru mengangkat figur kontroversial menjadi pahlawan. Forum ini juga menjadi ajakan moral kepada generasi muda agar terus menjaga ingatan kolektif dan memperkuat budaya demokrasi yang lahir dari perjuangan panjang Reformasi 1998.
“Jika kita diam hari ini, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi cerita setengah hati. Dan itu bukan Reformasi yang kami perjuangkan,” pungkas Jimmy Fajar, Aktivis 98 dari Yogyakarta.