Kelangkaan beras yang ditimbun untuk kepentingan segelintir pihak “Skandal Penimbunan Beras”
Jakarta, – Mediarjn.com – Indonesia Accountability Watch (IAW) Serukan Tindakan Tegas Dugaan skandal besar terkait penimbunan 300 ribu ton beras impor di Gudang Perum Bulog mencuat ke publik dan menuai sorotan tajam. Indonesia Accountability Watch (IAW) menilai kasus ini sebagai bentuk gratifikasi dan korupsi yang berpotensi merugikan negara hingga Rp3 triliun. Dalam pernyataan resminya, Direktur Eksekutif IAW Hasan Basri mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menindak tegas para pelaku yang diduga berada di balik skema ini. Selasa, (19/3/2025).
Skandal Ini Terungkap
Temuan mengejutkan ini pertama kali diungkap oleh Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto. Beberapa hari lalu, ia mendapati ribuan ton beras impor yang mengendap di Gudang Bulog dalam kondisi membusuk dan berkutu, tidak layak untuk dikonsumsi. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman serta Wakil Menteri Pertanian Sudaryono turut membenarkan kondisi tersebut dan menegaskan bahwa beras itu hanya bisa digunakan sebagai pakan ternak.
Menjadi Masalah Serius?
Impor beras pada tahun 2024 yang mencapai 4,52 juta ton seharusnya telah didistribusikan kepada masyarakat, terutama mengingat sempat terjadi kelangkaan beras yang membuat harga beras melonjak. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya—sejumlah besar beras malah dibiarkan menumpuk hingga tidak bisa dikonsumsi.
“Kasus ini menunjukkan bahwa ada dugaan kuat keterlibatan mafia beras yang sengaja menimbun pasokan untuk keuntungan kelompok tertentu,” tegas Hasan Basri. Ia menambahkan bahwa praktik ini mengarah pada spekulasi harga yang merugikan negara dan masyarakat luas.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
IAW telah mengirim surat terbuka kepada Presiden Prabowo, meminta agar kasus ini diusut secara transparan dan akuntabel. “Presiden harus memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat, baik di dalam maupun di luar Bulog, mempertanggungjawabkan perbuatannya,” lanjut Hasan Basri.
Modus operandi yang diduga digunakan dalam skema ini adalah dengan *membayar uang muka sekitar 20% dari harga total untuk membeli stok beras di Bulog. Beras tersebut tetap disimpan di gudang hingga harga di pasaran naik, baru kemudian dijual untuk mendapatkan keuntungan besar. Jika benar terjadi, ini merupakan bentuk manipulasi yang merampas hak masyarakat atas bahan pangan yang terjangkau.
Dampak bagi Masyarakat?
Kelangkaan beras yang sempat terjadi di masyarakat semakin membebani ekonomi rumah tangga, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Jika stok yang ada justru ditimbun untuk kepentingan segelintir pihak, ini bukan hanya persoalan ekonomi tetapi juga kemanusiaan.
Dalam situasi seperti ini, keberadaan Bulog seharusnya menjadi solusi, bukan malah menjadi sl pembersihan dari oknum-oknum yang bermain dalam jaringan mafia beras.
Dengan semakin luasnya sorotan publik, diharapkan pemerintah segera mengambil tindakan tegas. “skandal penimbunan beras” Kasus ini bukan hanya soal kerugian negara, tetapi juga tentang kepercayaan masyarakat terhadap sistem distribusi pangan nasional. Jika tidak segera ditangani, ketidakpercayaan ini bisa berujung pada krisis yang lebih besar di masa depan.
“Membersihkan lumbung pangan rakyat dari para tikus-tikus yang menggerogoti hak masyarakat adalah langkah yang harus dilakukan segera. Kasus ini bukan sekadar skandal biasa, tetapi ujian bagi komitmen pemerintahan dalam memberantas korupsi,” pungkas Hasan Basri.
Penimbunan 300 ribu ton beras impor yang membusuk bukan hanya bentuk pemborosan sumber daya, tetapi juga indikasi kuat adanya praktik mafia pangan di baliknya. Investigasi yang transparan, pertanggungjawaban hukum yang tegas, serta reformasi sistem distribusi pangan nasional menjadi kebutuhan mendesak agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Presiden Prabowo kini dihadapkan pada ujian kepemimpinan dalam menegakkan keadilan dan memastikan ketahanan pangan benar-benar berpihak kepada rakyat.
(Red)