Foto : Seorang profesor korban mafia tanah menyampaikan curhatan mengenai sulitnya mendapatkan keadilan hukum atas hak tanahnya yang dirampas.
Jakarta, – Mediarjn.com – Keluhan Profesor Ing Mokoginta tentang dugaan praktik mafia tanah yang menimpanya terus menjadi sorotan. Melalui unggahan di media sosial, ia mengungkapkan betapa sulitnya mencari keadilan dalam kasus yang telah ia perjuangkan sejak 2017. Meski telah memperoleh dua putusan inkrah dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri, haknya tak kunjung dipulihkan.
Keputusasaan semakin terasa ketika empat laporan polisi yang telah ia ajukan selama bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. “Dua keputusan inkrah dari PTUN dan Pengadilan Negeri hanya menjadi dongeng penghantar tidur,” ujarnya dengan nada getir.
Mafia Tanah dan Mandeknya Proses Hukum
Profesor Ing Mokoginta menyoroti bagaimana laporan yang ia ajukan justru berujung pada intimidasi dan penghentian penyelidikan. Laporan bernomor 460 yang ditangani Unit 1 Subdit 4, misalnya, tiba-tiba dihentikan (SP3) dengan alasan sertifikat milik terlapor sah secara hukum, meski ia telah membuktikan adanya cacat hukum melalui jalur PTUN.
“Lebih gila lagi, laporan kami nomor 541 yang ditangani oleh Unit 3 Subdit 2 malah menjadi awal intimidasi terhadap saya,” ungkapnya.
Kasus mafia tanah di Indonesia bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan mengenai perampasan hak atas tanah oleh kelompok tertentu semakin marak. Sayangnya, tidak sedikit kasus yang justru berakhir tanpa kejelasan hukum, meskipun korban memiliki bukti kuat.
Harapan ke Presiden Prabowo dan Kapolri Listyo Sigit
Dalam curhatannya, Profesor Ing Mokoginta juga menyinggung Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memberikan perhatian serius terhadap kasusnya. Ia berharap ada upaya konkret dalam memberantas mafia tanah yang merugikan masyarakat kecil hingga akademisi sepertinya.
“Halo Bapak Presiden ke-8 Prabowo Subianto dan Bapak Kapolri Listyo Sigit, apakah saya terlalu bodoh karena percaya bahwa masih ada keadilan di Indonesia?” tanyanya penuh kecewa.
Ia mengaku telah berulang kali mengirim surat kepada DPR, Kementerian ATR/BPN, Kapolri, hingga Presiden, tetapi semua hanya berakhir menjadi tumpukan dokumen yang diabaikan. “Pada akhirnya, saya hanya bisa tertawa sambil menangis, ditemani kekecewaan karena menjadi profesor yang bodoh,” lanjutnya.
Dampak Sosial dan Pentingnya Reformasi Agraria
Kasus yang menimpa Profesor Ing Mokoginta menjadi refleksi atas kompleksitas permasalahan agraria di Indonesia. Kejahatan mafia tanah bukan hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.
Reformasi agraria dan penguatan hukum terhadap mafia tanah harus menjadi prioritas bagi pemerintahan ke depan. Jika tidak, kasus serupa akan terus berulang dan semakin banyak masyarakat yang kehilangan hak mereka tanpa kepastian hukum.
“Negara merdeka, rakyat menderita. Negara diam, rakyat mendendam.” Kalimat ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, tetapi juga seruan agar pemerintah segera bertindak.
Bagaimana kelanjutan kasus ini? Apakah Profesor Ing Mokoginta akan mendapatkan keadilan yang ia perjuangkan? Ataukah kisahnya hanya akan menjadi bagian dari deretan panjang korban mafia tanah yang terabaikan?
—-