Media Rubrik Jurnal Nusantara - Inspiratif - Inovatif - Kompetitif"

Peta wilayah Singkil menunjukkan empat pulau sengketa antara Aceh dan Sumut berdasarkan Kesepakatan 1992 dan garis batas administratif nasional.

Jakarta, – Mediarjn.com Perseteruan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara kembali menjadi sorotan publik nasional setelah klaim atas empat pulau di wilayah Singkil memicu ketegangan politik dan perdebatan administratif. Kedua belah pihak saling mempertahankan posisi bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah mereka. Namun, Pakar Hukum Internasional sekaligus Ekonom, Prof Dr KH Sutan Nasomal, menegaskan bahwa konflik ini seharusnya sudah selesai sejak tahun 1992.

“Tidak perlu ada kegaduhan baru bila semua pihak menghormati perjanjian yang sudah tertulis. Kesepakatan antara Raja Inal Siregar dan Ibrahim Hasan di tahun 1992 adalah sah dan mengikat secara hukum,” ujar Prof Sutan saat diwawancarai oleh para pemimpin redaksi media cetak dan online dari Kantor DPP Partai Oposisi Merdeka, Jakarta (15/6/2025).

Isi Kesepakatan Tahun 1992

Konflik administratif atas empat pulau di perbatasan Aceh–Sumut, yakni:

  • Pulau Panjang
  • Pulau Mangkir Gadang
  • Pulau Mangkir Ketek
  • Pulau Lipan

telah dimediasi oleh Menteri Dalam Negeri Rudini pada awal 1990-an dan berujung pada dokumen resolusi tahun 1992. Dalam dokumen tersebut ditegaskan:

  1. Keempat pulau merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
  2.  Pemerintah Sumut dilarang mengklaim ulang atau mengeluarkan izin atas wilayah tersebut.
  3. Hak pengelolaan sumber daya alam menjadi kewenangan penuh Pemerintah Aceh.
  4. Kerja sama hanya dibenarkan dalam bentuk teknis, seperti konservasi lintas wilayah.

Apa Dasar Hukumnya

Prof Sutan menjelaskan bahwa Kesepakatan 1992 memiliki kekuatan hukum nasional dan masih berlaku hingga kini karena diperkuat oleh:

  • UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 246)
  • Putusan Mahkamah Agung No. 01.P/HUM/2013, yang menolak gugatan Pemprov Sumut
  • Dokumentasi resmi yang tersimpan di Arsip Nasional dan Kementerian Dalam Negeri

“Dalam hukum internasional, kesepakatan administratif antardaerah yang dimediasi negara adalah “binding agreement”. Ini bukan sekadar piagam, tapi keputusan negara,” imbuhnya.

Mengapa Sumut Mengklaim Lagi

Pemerintah Sumatera Utara pasca 1992, termasuk di era Bobby Nasution, kembali mengangkat isu ini dengan dalih:

  • Potensi ekonomi besar (pariwisata, ikan, minyak & gas)
  • Dukungan investor yang ingin masuk
  • Manuver politik identitas menjelang momentum ele

Bagaimana Sikap Aceh

Aceh bersikukuh mempertahankan wilayahnya dengan merujuk pada hukum, bukan emosi. Pemerintah Aceh menolak gugatan ke PTUN dan mendorong jalur kekeluargaan, administratif, dan diplomatik.

“Jika perlu, Aceh siap mengajukan perkara ke ‘Pengadilan Internasional’,” ujar Prof Sutan.

Ia juga menyampaikan bahwa Presiden RI Prabowo Subianto diharapkan menjadi penengah adil dan bijak dalam menanggapi isu ini, tanpa terpengaruh narasi sektoral yang memecah belah.

Apa Solusinya

  • Kesepakatan 1992 adalah final dan legal
  • Aceh punya landasan hukum kuat
  • Sumut harus berhenti menggugat secara sepihak
  • Presiden harus hadir sebagai penengah nasional

“Sebagai anak bangsa, kita jangan terjebak dalam politik pendek dan spekulatif yang melukai perasaan daerah. Mari kembali pada konstitusi, etika, dan persaudaraan,” tutup Prof Sutan.


Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *