Petani Desa Hutagaol Peatalun menunjukkan saluran irigasi tua yang ditutup oknum warga, menyebabkan gagal panen di lahan sawah seluas 20 hektare.
Karena siapa, apa yang terjadi, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana masyarakat Desa Hutagaol Peatalun terdampak penutupan akses pengairan?
Balige, Toba, – Mediarjn.com – Sebanyak 25 kepala keluarga (KK) di Desa Hutagaol Peatalun, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba, mengalami gagal panen hingga lima kali berturut-turut akibat penutupan paksa saluran irigasi warisan leluhur oleh seorang oknum warga desa yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Irigasi yang telah berusia ratusan tahun itu sebelumnya menjadi sumber utama pengairan bagi sekitar 20 hektare lahan pertanian di kawasan Barumbung.
Menurut warga, saluran irigasi tersebut telah dibangun secara permanen pada tahun 2011 oleh pemerintah pusat, menyusul kepedulian terhadap ketahanan pangan masyarakat lokal. Namun dalam lima tahun terakhir, seorang warga yang baru membeli lahan di atas jalur irigasi diketahui menutup aliran air dengan pagar dan menanam pohon pisang di atasnya. Tindakan ini mengakibatkan saluran utama tertutup dan menghentikan aliran air ke sawah-sawah warga.
“Kami tidak bisa bertanam padi lagi. Sudah lima kali gagal panen. Sumber air ditutup tanpa dasar hukum, padahal irigasi ini sudah digunakan sejak zaman nenek moyang,” ungkap salah satu warga saat diwawancarai oleh Mediarjn.com
Penutupan ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga berdampak psikologis terhadap petani yang menggantungkan hidup dari hasil panen sawah. Berdasarkan kajian dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di DPRD Kabupaten Toba, kerugian materiil warga akibat gagal panen mencapai Rp2,5 miliar dalam satu tahun, dengan proyeksi terus bertambah jika masalah ini tak segera ditangani.
Oknum warga yang melakukan klaim disebut telah memanipulasi status kepemilikan tanah dengan tujuan mengambil alih akses irigasi dan menjadikannya sebagai bagian dari hak miliknya. Padahal menurut informasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Balige, tidak terdapat sertifikat resmi atas irigasi tersebut dalam dokumen kepemilikan tanah.
Perwakilan warga meminta dukungan dari pemerintah daerah, aparat hukum, dan media untuk melakukan pengawasan dan pendampingan. Mereka juga telah melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti PPWI Nasional Cabang Toba untuk membantu advokasi hukum dan menjaga keberlanjutan fungsi irigasi sebagai infrastruktur umum, bukan milik perseorangan.
“Kami minta ketegasan pemerintah. Irigasi ini dibangun dari dana publik dan diperuntukkan bagi masyarakat. Tidak boleh ada yang mengklaim sewenang-wenang,” tegas salah satu tokoh masyarakat.
Kasus ini menjadi refleksi penting tentang konflik agraria, hak atas sumber daya alam, dan kelemahan sistem pengawasan terhadap fasilitas publik yang vital. Situasi ini juga menunjukkan perlunya pemetaan ulang aset negara dan penguatan hukum terkait pengelolaan irigasi, terutama di daerah pedesaan yang rentan terhadap klaim sepihak dan tindakan spekulatif.
Kini, harapan tertuju pada peran aktif pemerintah dan lembaga hukum untuk memulihkan fungsi irigasi, memberikan keadilan bagi warga terdampak, dan memastikan keberlanjutan pangan lokal tetap terjaga.